Broken home yaitu sebuah sebutan yang mengilustrasikan keluarga dengan status yang tidak lengket. sebutan itu yaitu bahasa Inggris yang jikalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ada lawan sebutan keluarga tidak utuh.
Dalam karangan ini, kita hendak membahas hal apa itu broken home, pemicunya, akibat yang ditimbulkan, sampai metode menghindarinya.
- Pengertian Broken Home
Broken home ataupun keluarga tidak utuh yaitu visualisasi keluarga yang cerai-berai ataupun tidak lengket lagi sebab terdapatnya sengketa, pertengkaran, sampai berhenti pada perpisahan. mengambil academia.edu perihal Broken Home and Lifestyle, keadaan ini berakibat lebih-lebih terhadap anak-anak, yang kelihatannya berdampak anak-anak itu ada style hidup yang kurang bagus.
sebutan anak broken home diartikan selaku anak-anak dengan keluarga yang cerai-berai ataupun orang tuanya berparak. keadaan ini sanggup berakibat yakin pada keadaan kognitif anak.
akibat yang diperoleh oleh anak broken home menurut perpisahan orang tuanya berbeda-beda. perihal ini terkait pada umur seseorang anak kala orangtua berparak, model genus anak, karakter anak, serta jalinan anak dengan orang tuanya.
sementara itu bagi psikiater serta psikoterapis Frank Anderson dalam Verywell Mind, broken home ataupun broken family yaitu salah satu suasana yang melingkupi jalinan yang tidak pulih ataupun berakhir dalam bagian keluarga.
walaupun kerap dikorelasikan dengan perpisahan, tetapi keadaan broken home sanggup berlangsung pula dalam keluarga yang tengah utuh di menurut kertas. selaku ilustrasi keluarga barangkali tengah utuh, tetapi anggotanya bersama berkonflik serta terpisah satu serupa lain.
- Ciri-ciri Broken Home
Broken home atau keluarga yang tidak utuh digambarkan melalui ciri-ciri berikut, dilansir situs Mental Health America screening.mhanational.org.
1. Kekerasan
Kekerasan dapat berbentuk aktif seperti kekerasan verbal dan fisik. Bisa juga dalam bentuk pasif seperti pengabaian secara fisik maupun emosional. Misalnya tidak memberi makan, tidak menunjukkan kasih sayang, dan tidak peduli.
2. Ketakutan dan Tidak Percaya
Dalam keluarga yang tidak utuh, biasanya tumbuh rasa tidak percaya dan ketakutan akan ketidakpastian. Anak-anak yang tumbuh dalam ketakutan akan kemarahan atau reaksi orangtua cenderung sulit mengekspresikan diri dengan jujur demi menghindari konflik.
3. Kasih Sayang Bersyarat
Dalam keluarga yang tidak utuh, akan ada semacam manipulasi dengan kasih sayang. Kasih sayang atau cinta hanya diberikan ketika mereka menginginkan sesuatu dan dengan syarat. Jika keinginan atau syarat itu tidak terpenuhi, maka kasih sayang tidak diberikan.
4. Kurangnya Batasan
Batasan ini dalam hal sejauh mana anggota keluarga mencampuri keputusan anggota yang lain. Misalnya orangtua sangat mengendalikan dan menentukan keputusan anak, membuat anak tidak memiliki kebebasan berpendapat.
5. Kurangnya Kedekatan
Keluarga yang tidak utuh biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda kedekatan, baik secara fisik maupun emosional. Anggota keluarga juga tidak saling mendukung secara emosional.
6. Komunikasi yang Buruk
Anggota keluarga tidak merasa nyaman dalam berkomunikasi satu sama lain dan selalu ada ketegangan. Tidak ada pengertian antara satu anggota dengan anggota lainnya.
- Penyebab Terjadinya Broken Home
Broken home biasanya terjadi karena beberapa penyebab, mengutip situs Verywell Mind.
1. Kekerasan
Kekerasan dana keluaga bisa berupa kekerasan fisik, emosional, atau seksual. Hal ini dapat merusak kesehatan mental anggota keluarga dan mempersulit kemampuan mereka untuk saling memaafkan, karena kekerasan yang dilakukan sangat menyakiti.
2. Masalah Kesehatan Mental
Jika salah satu anggota keluarga memiliki masalah kesehatan mental, sebuah keluarga juga bisa menjadi tidak harmonis dan akhirnya tidak utuh. Terlebih jika anggota tersebut tidak menyadari bahwa dirinya memiliki masalah kesehatan mental dan memberikan dampak buruk pada anggota yang lain.
3. Masalah Finansial
Keuangan juga bisa menyebabkan keluarga tidak harmonis. Tidak hanya ketika kondisi ekonomi kurang baik, tapi juga saat dalam kondisi baik tetapi pengelolaannya buruk dan tidak ada keterbukaan.
4. Batas-batas yang Dilanggar
Masing-masing anggota keluarga mestinya memiliki batasan dan ada hal-hal yang menjadi urusan sendiri, tidak harus dicampuri anggota keluarga yang lain. Ketika batasan itu dilanggar, biasanya akan memunculkan konflik.
5. Perbedaan Nilai
Anggota keluarga juga bisa memiliki perbedaan nilai yang dipegang satu sama lain. Perbedaan nilai yang dipercaya, seperti agama dan politik, bisa menimbulkan konflik apabila tidak dikomunikasikan dengan baik. Terutama jika kemduian ada pemaksaan nilai satu sama lain.
6. Orang Dewasa yang Terlalu Mengontrol
Baik orangtua maupun orang yang lebih tua dalam keluarga, jika terlalu mengontrol anak-anak atau orang yang lebih muda, maka berisiko menimbulkan konflik yang berujung pada broken home.
7. Tidak Mengakui Kesalahan dan Meminta Maaf
Setiap keluarga pasti memiliki masalah dan anggota juga bisa berbuat salah. Namun, tidak mengakui kesalahan dan minta maaf bisa memperuncing masalah dan berujung pada konflik yang lebih besar lagi.
- Masalah yang Sering Dihadapi oleh Anak Broken Home
Penelitian mengungkapkan bahwa perceraian dapat menimbulkan konsekuensi serius pada kondisi psikologis anak broken home. Pecahnya struktur keluarga ini juga dapat menimbulkan dampak pada anak hingga jangka panjang.
Beberapa dampak serius yang mungkin saja dialami oleh anak broken home meliputi:
1. Masalah emosional
Perpisahan orang tua sangat memengaruhi kondisi emosional anak. Rasa kehilangan, sedih, bingung, takut, marah, semua bercampur aduk dirasakan oleh anak.
Bingung harus tinggal dengan ayah atau ibu, dan juga rasa kehilangan salah satu sosok orang tua, atau merasa tidak dicintai lagi oleh orang tua bisa juga menjadi penyebabnya. Tak jarang anak merasa marah atau justru menyalahkan diri sebagai penyebab perpisahan orang tuanya.
2. Gangguan perilaku
Sebagian anak broken home juga mengalami suasana hati yang tidak menentu (mood swing) atau gangguan suasana hati lainnya. Sebagian dari mereka memilih untuk menarik diri dari pergaulan, enggan bersosialisasi, dan tidak percaya diri.
Perceraian juga berkontribusi dalam mendorong perilaku antisosial pada anak. Anak broken home berisiko menjadi anak nakal, agresif, suka berkata dan berbuat kasar, berbohong, bahkan berkelahi dengan teman.
3. Gangguan mental
Selain karena kedekatan orang tua dan anak berkurang setelah perceraian, berbagai perubahan yang harus dijalani oleh anak, misalnya pindah rumah atau pindah sekolah, dapat membuat anak semakin stres. Anak broken home juga rentan mengalami depresi dan gangguan kecemasan.
Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini bisa meningkatkan risiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian, menyalahgunakan narkoba, bahkan melakukan percobaan bunuh diri.
Dampak serius lain yang dialami anak broken home adalah separation anxiety syndrome (SAD) atau gangguan kecemasan berpisah. SAD merupakan suatu kondisi di mana seorang anak menjadi sangat takut dan cemas kehilangan figur penting dalam hidupnya, yang dalam hal ini adalah ayah dan ibu mereka.
Rasa cemas dan takut akibat gangguan tersebut dapat mengganggu aktivitas anak, membuat anak jadi rewel, uring-uringan, bahkan tidak mau pergi ke sekolah atau bermain dengan teman-temannya.
4. Masalah keuangan dan pendidikan
Anak broken home sering kali mengalami masalah keuangan yang kurang stabil jika dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang harmonis. Selain itu, prestasi di sekolah juga memiliki kemungkinan untuk menurun.
Hal ini terjadi karena mereka rentan mengalami gangguan belajar, sulit konsentrasi, dan tidak termotivasi lagi untuk belajar setelah orang tuanya bercerai.
- Hal yang Bisa Dilakukan Orang tua dan Anak Broken Home
Untuk mencegah dampak broken home pada anak di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Hindari pertikaian di depan anak
Menghadapi perceraian akan lebih mudah bagi anak jika melihat orang tuanya tetap akur dan tidak banyak bertengkar. Dalam hal ini, orang tua perlu menjaga emosi agar tidak bertengkar di depan anak.
Jangan terburu-buru memutuskan untuk bercerai bila menghadapi konflik dengan pasangan Anda. Sebelum mengambil keputusan untuk bercerai, coba ikuti konseling pernikahan dengan psikolog.
2. Jangan buat anak berpihak pada salah satu orang tua
Ayah hendaknya tidak melarang kedekatan anak dengan ibunya, begitu juga sebaliknya. Pastikan untuk selalu terbuka dan berbagi situasi keluarga dengan anak, komunikasi yang baik penting bagi perkembangannya di kemudian hari.
Anak juga perlu menjaga komunikasi dengan kedua orang tua mereka, misalnya dengan tetap berkomunikasi setiap hari dengan ayah dan ibu melalui telepon, chat, video call, atau rutin mengunjungi rumah kedua orang tuanya yang sudah berpisah.
3. Bekerja sama dalam memberi dukungan
Orang tua harus bekerja sama dalam memberikan dukungan terhadap anak, misalnya ketika harus menghadiri acara sekolah atau ulang tahun anak, baik ayah dan ibu perlu mengupayakan hadir. Yakinkan pada anak bahwa meskipun bercerai, kasih sayang orang tuanya tidak akan berkurang.
4. Cari cara untuk mengatasi stres
Perceraian orang tua bisa menjadi masa sulit bagi anak dan orang tua, namun bisa juga menjadi proses pembelajaran untuk menemukan kekuatan diri masing-masing dalam menghadapi masalah.
Saat stres melanda, baik orang tua maupun anak perlu mencari cara terbaik untuk mengatasinya, misalnya curhat dengan sahabat, atau minta saran dari guru di sekolah.
Hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh orang tua dan anak broken home adalah mengikuti konseling keluarga dengan psikolog jika muncul masalah pada kesehatan anak, baik gangguan psikologis maupun yang sudah berkembang menjadi gangguan fisik.